oleh: Djulianto Susantio
Berkoleksi numismatik, terlebih mata uang, sering kali memiliki banyak kendala. Selain dana harus mencukupi, ke mana atau di mana mencari koleksi, juga merupakan salah satu masalah. Namun kendala terbesar yang umumnya dihadapi para numismatis adalah bagaimana memperoleh suatu perbendaharaan koleksi agar menjadi lengkap.
Kendala itu disebabkan sejak lama produk numismatik Indonesia tidak pernah diterbitkan setiap tahun. Karenanya, koleksi para numismatis lebih bersifat statis atau sulit bertambah. Salah satu akibatnya antara lain para numismatis sulit bersaing dengan para filatelis.
Bila dicermati, dalam lima tahun terakhir saja, pemerintah sudah puluhan kali mengeluarkan prangko baru, termasuk benda-benda pos lainnya. Sebaliknya, peredaran uang baru belum mencapai lima kali. Karena penerbitan uang baru relatif jarang, maka perkembangan numismatik Indonesia begitu lambat. Malah pernah terjadi kekosongan penerbitan mata uang selama tujuh tahun, yakni selama periode 1968-1975.
Namun karena kestatisan itu, muncul kedinamisan. Banyak numismatis kemudian berusaha mencari hal-hal baru dari koleksi-koleksi yang pernah ada. Dari penelusuran sejumlah numismatis teramati bahwa mata-mata uang yang pernah beredar di Indonesia sejak prakemerdekaan hingga pascakemerdekaan, memiliki berbagai keunikan atau variasi. Model-model seperti itulah yang secara perlahan tapi pasti, mulai digeluti para numismatis.
Variasi
Variasi dalam numismatik diistilahkan sebagai penyimpangan atau perubahan yang terjadi pada mata uang. Berbagai variasi yang dikenal dapat berupa gambar, tanda tangan, ukuran, warna, bahan, ketebalan, nama percetakan, tahun pencetakan, dan lain-lain. Variasi dalam numismatik bisa terdiri atas satu hal, bisa pula lebih dari satu hal.
Sepanjang peredaran mata uang di Indonesia, variasi tanda tangan paling banyak dijumpai pada uang kertas 5 Gulden Seri Wayang. Pada emisi itu terdapat tiga perbedaan tanda tangan, yaitu oleh Praasterink-B. Wichers (1934-1937), J.C. van Waveren-B. Wichers (1937-1939), dan R.E. Smits-B. Wichers (1939). Di antara ketiganya, yang bertanda tangan Smits dan Wichers lebih sulit dicari karena masa edarnya hanya setahun. Otomatis, harga jualnya pun lebih tinggi daripada kedua jenis lainnya.
Pada uang NICA (uang merah) 1943 pecahan 25 Gulden teridentifikasi adanya tiga perbedaan nomor seri, yakni 2 huruf 5 angka, 2 huruf 5 angka 1 huruf, dan 2 huruf 6 angka. Meskipun begitu, harga jualnya relatif seimbang.
Pada Uang Federal 1948 pecahan 1 Gulden terdapat lima perbedaan nomor seri, yaitu 1 huruf kecil 1 angka kecil, 1 huruf kecil 2 angka kecil, 2 huruf sedang 1 angka sedang, 2 huruf sedang 2 angka sedang, dan 1 huruf besar 2 angka besar. Koleksi ini pun tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap harga jualnya.
Pada uang RI dan BI (Bank Indonesia), perbedaan banyak ditemukan pada cetakan tahun 1945 hingga 1960. Pada seri ORI I 1945 variasi perbedaan terlihat pada pecahan 10 sen (warna dan ukuran), Rp 5 (nomor seri), dan Rp 10 (nomor seri).
Pada seri Kebudayaan (1952) perbedaan tampak pada pecahan Rp 10 dan Rp 25. Keduanya dicetak pada Pertjetakan Kebajoran (Perkeba) dan Johan Enschede en Zonen.
Pada seri Sukubangsa Rp 1 dan Rp 2,50 terdapat dua perbedaan emisi, yakni emisi 1954 dengan penanda tangan Dr. Ong Eng Die dan emisi 1956 dengan penanda tangan Mr. Jusuf Wibisono.
Koleksi yang banyak memiliki variasi terdapat pada seri Pekerja Tangan (1958). Khususnya pada uang bernominal Rp 1000 (berwarna violet dan merah coklat) dan Rp 5.000 (coklat dan ungu). Yang unik, nominal Rp 25 dan Rp 50, diterbitkan lagi pada 1964 dengan tambahan stempel Garuda.
Seri Soekarno (1960) dianggap paling lengkap macam perbedaannya. Karena itu sejumlah koleksinya banyak diburu numismatis. Variasi yang teridentifikasi berupa nama perusahaan pencetak (Perkeba dan Thomas de la Rue), nomor seri (satu hingga tiga huruf), dan tanda air atau watermark (Soekarno, Banteng, Garuda). Bahkan sama-sama tanda air Soekarno juga terdapat perbedaan berupa profil Soekarno (gemuk dan lebih kurus).
Pada 1964 pemerintah menerbitkan seri Pekerja Tangan III. Variasinya terdapat pada pecahan Rp 100 (warna merah dan biru) dan Rp 10.000 (merah, hijau, dan hijau berstempel Garuda).
Selanjutnya variasi dijumpai pada seri Soedirman (1968) Rp 5.000 dan Rp 10.000 (dua macam nomor seri) serta emisi 1977 Rp 500 (warna kertas putih dan kekuningan).
Koin
Berbeda dengan uang kertas, koleksi uang logam atau koin relatif tidak mengalami perubahan. Mungkin karena warnanya yang monoton dan ukurannya yang kecil, maka kita tidak memperhatikannya begitu detil. Padahal jika diamati dengan seksama, di bawah lambang Burung Garuda selalu dicantumkan tahun pencetakan. Variasi pada uang logam mulai teramati sejak 1991.
Variasi tahun pencetakan terdapat pada uang logam pecahan Rp 25, Rp 50, Rp 100, Rp 500, dan Rp 1000. Sedangkan variasi tahun pencetakan pada uang kertas mulai dikenal pada emisi 1992 nominal Rp 100. Seorang numismatis yang telaten biasanya memiliki satu jenis uang (bernominal sama) yang terdiri atas bermacam-macam tahun pencetakan.
Pada uang kertas tahun pencetakan dicantumkan pada sisi muka bagian kanan bawah. Bunyi tulisannya adalah PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP. 1992 pada cetakan perdana (imp. = imprint). Tulisan-tulisan tersebut sangat kecil. Untuk mengamatinya diperlukan bantuan kaca pembesar (Berita Perhimpunan Penggemar Koleksi Mata Uang, 1993 dan 1995).
Adanya berbagai variasi pada mata uang tentu saja sangat menguntungkan dunia numismatik Indonesia. Selain untuk menambah perbendaharaan koleksi, hal demikian juga untuk meningkatkan wawasan pengetahuan para numismatis. Dibandingkan koleksi-koleksi dari mancanegara, variasi yang dijumpai dalam koleksi numismatik Indonesia sangat banyak ragamnya. Karena itu, koleksi-koleksi numismatik Indonesia makin banyak diburu numismatis-numismatis mancanegara.***